Kemendikbud melalui Dirjen Kebudayaan menyelenggarakan Festival Wastra Nusantara di Museum Kepresidenan Republik Indonesia, Balai Kirti, Bogor, pada tanggal 8 s.d. 14 April 2019. Festival ini dibuka secara resmi oleh Presiden ketiga RI, Bapak BJ Habibie, ditandai dengan pemecahan kendil berisi kembang setaman.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, menjelaskan, wastra adalah kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri, yang mengacu pada dimensi warna, bahan, dan ukuran. Wastra dapat berupa batik, songket dan tenun. “Wastra dianggap bernilai tinggi karena setiap wastra sejatinya memiliki sejarah dan maknanya masing-masing,” disampaikan Hilmar dalam Pembukaan Festival Wastra Nusantara, di Museum Kepresidenan Republik Indonesia, Balai Kirti, Bogor, pada Senin (8/4/2019).
Menampilkan koleksi wastra para ibu negara
Dijelaskan Hilmar, festival ini merupakan pertama kali diselenggarakan dengan menampilkan koleksi wastra para ibu negara, mulai dari ibu negara pertama hingga ibu negara saat ini. Selain itu, juga ditampilkan koleksi para tokoh nasional dan kolektor yang diseleksi secara khusus oleh tim kurator. “Maksud dari kegiatan ini sederhana, yaitu karena sudah tersimpan cukup lama di museum nasional. Persiapan cukup singkat dan menghadirkan tidak kurang dari 100 wastra. Saya sendiri memakai wastra dari Sumba Timur,” jelas Hilmar.
Di samping menampilkan koleksi tersebut, lanjut Hilmar, festival ini diharapkan dapat mengajak siswa untuk mengenal dan mempelajari wastra. “Wastra tidak sekedar kain tetapi ada nilai-nilai dan filosofinya. Banyak dari kita menggunakan wastra ibarat perpustakaan berjalan. Maksud dari pameran ini yaitu bisa mengembalikan makna nilai yang ada di tradisi kita. Kita akan berkeliling untuk memamerkannya ke seluruh Indonesia mulai bulan Mei 2019. Ada 111 museum di Indonesia yang dikelola oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dengan cara itu, kita dapat meneruskan nilai nilai kepada generasi berikutnya,” pungkasnya.
Pada kesempatan ini, Dirjen Kebudayaan, memberikan piagam penghargaan kepada dua orang penggiat wastra, yaitu Agustina Kahi Atanau berupa penghargaan atas Pengabdian Sepanjang Hayat dan kepada Ayu Tri Handayani penghargaan atas Pengabdian Tanpa Batas.
Diikuti kalangan pecinta dan penggiat wastra
Melalui kegiatan Festival Wastra Nusantara yang diikuti dan dihadiri berbagai kalangan pecinta dan penggiat wastra, diharapkan akan dapat memperluas jaringan komunikasi dan kerja sama yang semakin luas untuk mendorong kemajuan dalam pengembangan wastra nusantara, dan meningkatkan pemberdayaan segenap pelaku atau komunitas pengrajin kain-wastra di segenap wilayah tanah air.
Usai kegiatan, Ibu Suryan Widati Muhadjir, istri Mendikbud Muhadjir Effendy, mengungkapkan bahwa koleksi miliknya yang dipamerkan di museum ini merupakan koleksi ibu mertuanya. “Motifnya sudagaran. Jadi ketika Bapak Mertua mendalang, Ibu Mertua saya membatik atas bimbingan langsung maka tercipta batik. Halus sekali,” tutur Wida.
Dilanjutkan Wida, dirinya mengoleksi banyak wastra dari berbagai wilayah di nusantara.”Saya suka Topas NTT karena ketika dipakai di cuaca panas jadi dingin dan warnanya hidup. Pertimbangan memakai kain itu pertama motif. Kalau saya pakai kain, harus tahu ceritanya, misal tenun Maumere. Kalau tahu ceritanya, bisa istimewa memakainya,” jelas Wida.
Penggunaan pakaian daerah
Ditambahkan Wida, dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, diharapkan agar setiap orang yang memakai wastra nusantara mengerti arti dari wastra itu sendiri. Selain itu, dirinya mengapresiasi pemerintah daerah yang mengimbau penggunaan pakaian daerah. “Saya berharap acara ini menjadi langkah awal agar masyarakat dapat mencintai pakaian daerah,” pungkasnya.
Festival Wastra Nusantara ini menampilkan wastra nusantara yang mempunyai simbol-simbol dan makna tersendiri dari berbagai provinsi, baik tenun, ulos, batik, dan songket. Kegiatan ini diisi dengan peragaan busana tokoh-tokoh inspiratif, seminar wastra nusantara, lokakarya membatik, serta bazar wastra nusantara.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, menjelaskan, wastra adalah kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri, yang mengacu pada dimensi warna, bahan, dan ukuran. Wastra dapat berupa batik, songket dan tenun. “Wastra dianggap bernilai tinggi karena setiap wastra sejatinya memiliki sejarah dan maknanya masing-masing,” disampaikan Hilmar dalam Pembukaan Festival Wastra Nusantara, di Museum Kepresidenan Republik Indonesia, Balai Kirti, Bogor, pada Senin (8/4/2019).
Menampilkan koleksi wastra para ibu negara
Dijelaskan Hilmar, festival ini merupakan pertama kali diselenggarakan dengan menampilkan koleksi wastra para ibu negara, mulai dari ibu negara pertama hingga ibu negara saat ini. Selain itu, juga ditampilkan koleksi para tokoh nasional dan kolektor yang diseleksi secara khusus oleh tim kurator. “Maksud dari kegiatan ini sederhana, yaitu karena sudah tersimpan cukup lama di museum nasional. Persiapan cukup singkat dan menghadirkan tidak kurang dari 100 wastra. Saya sendiri memakai wastra dari Sumba Timur,” jelas Hilmar.
Di samping menampilkan koleksi tersebut, lanjut Hilmar, festival ini diharapkan dapat mengajak siswa untuk mengenal dan mempelajari wastra. “Wastra tidak sekedar kain tetapi ada nilai-nilai dan filosofinya. Banyak dari kita menggunakan wastra ibarat perpustakaan berjalan. Maksud dari pameran ini yaitu bisa mengembalikan makna nilai yang ada di tradisi kita. Kita akan berkeliling untuk memamerkannya ke seluruh Indonesia mulai bulan Mei 2019. Ada 111 museum di Indonesia yang dikelola oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dengan cara itu, kita dapat meneruskan nilai nilai kepada generasi berikutnya,” pungkasnya.
Pada kesempatan ini, Dirjen Kebudayaan, memberikan piagam penghargaan kepada dua orang penggiat wastra, yaitu Agustina Kahi Atanau berupa penghargaan atas Pengabdian Sepanjang Hayat dan kepada Ayu Tri Handayani penghargaan atas Pengabdian Tanpa Batas.
Diikuti kalangan pecinta dan penggiat wastra
Melalui kegiatan Festival Wastra Nusantara yang diikuti dan dihadiri berbagai kalangan pecinta dan penggiat wastra, diharapkan akan dapat memperluas jaringan komunikasi dan kerja sama yang semakin luas untuk mendorong kemajuan dalam pengembangan wastra nusantara, dan meningkatkan pemberdayaan segenap pelaku atau komunitas pengrajin kain-wastra di segenap wilayah tanah air.
Usai kegiatan, Ibu Suryan Widati Muhadjir, istri Mendikbud Muhadjir Effendy, mengungkapkan bahwa koleksi miliknya yang dipamerkan di museum ini merupakan koleksi ibu mertuanya. “Motifnya sudagaran. Jadi ketika Bapak Mertua mendalang, Ibu Mertua saya membatik atas bimbingan langsung maka tercipta batik. Halus sekali,” tutur Wida.
Dilanjutkan Wida, dirinya mengoleksi banyak wastra dari berbagai wilayah di nusantara.”Saya suka Topas NTT karena ketika dipakai di cuaca panas jadi dingin dan warnanya hidup. Pertimbangan memakai kain itu pertama motif. Kalau saya pakai kain, harus tahu ceritanya, misal tenun Maumere. Kalau tahu ceritanya, bisa istimewa memakainya,” jelas Wida.
Penggunaan pakaian daerah
Ditambahkan Wida, dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, diharapkan agar setiap orang yang memakai wastra nusantara mengerti arti dari wastra itu sendiri. Selain itu, dirinya mengapresiasi pemerintah daerah yang mengimbau penggunaan pakaian daerah. “Saya berharap acara ini menjadi langkah awal agar masyarakat dapat mencintai pakaian daerah,” pungkasnya.
Festival Wastra Nusantara ini menampilkan wastra nusantara yang mempunyai simbol-simbol dan makna tersendiri dari berbagai provinsi, baik tenun, ulos, batik, dan songket. Kegiatan ini diisi dengan peragaan busana tokoh-tokoh inspiratif, seminar wastra nusantara, lokakarya membatik, serta bazar wastra nusantara.
----------
Baca info wisatajabar.com lainnya di GOOGLE NEWS